Sabtu, 01 November 2014

First Sight. By: Azura Kamal

              Awal Desember tiba, kaki masih sibuk menghentak-hentakkan sisa salju yang menempel di sela-sela jari kaki. Suasana dingin yang mulai terasa, membuat badan enggan menunjukkan dirinya, membuat kaki enggan melangkah melewati jalan yang mulai tertutup oleh salju. Suasana hangat yang mengepung seluruh ruang santai membuat diriku enggan beranjak dari hangatnya sofa yang ku tempati. Aku masih mendapati diriku yang sibuk mengubah channel TV, rasanya tak ada apapun yang layak untuk dilihat pada saat cuaca seperti ini. Tiba-tiba perutku menggerutu, ya, suasana dingin memang paling bisa memaksa perut untuk mengeluh. Akhirnya, aku pun memutuskan untuk beranjak dari sofa dan bersiap-siap untuk mencari sesuatu yang dapat dimakan pada saat cuaca yang seperti ini.

            Bersiap-siap keluar pada saat cuaca dingin seperti ini adalah hal yang paling merepotkan. Baju yang berlapis, mantel, serta penutup telinga ialah hal yang paling sering ku gunakan. Tak lupa untuk memakai sepasang sepatu boots yang sebulan lalu ku beli di sebuah tempat perbelanjaan di daerah Gangnam untuk persiapan musim salju pertamaku. Tampaknya tidak terlalu mengasyikan dari yang ku bayangkan ketika diriku dulu masih di Indonesia. Kakiku pun mulai melangkah keluar dari zona nyamanku, suasana yang sendiri semakin terasa dengan mulai menggigilnya tubuhku. Jalanan yang terlihat sepi memperkuat perasaan itu. Setiap kanan dan kiri jalan hanya terlihat penerangan lampu penduduk sekitar. Hari ini masih sore, namun mereka sudah menyalakan lampu lebih awal dari biasanya karna ini musim salju. Aku pun jalan menapaki salju demi salju yang turun kian banyak. Aku hanya bisa memikirkan hangatnya semangkuk sup atau gurihnya daging asap yang sebentar lagi akan mendiami perutku yang sudah tak sabar ini.

            Di ujung jalan terlihat sebuah restoran ramen kecil, dari jauh hanya terlihat cahaya lampunya yang samar-samar. Namun tercium bau yang sedap. Aku pun bergegas menghampiri tempat itu.

“Annyeonghaseyo, Ahjumma. i want to order some food,” sapaku dengan ramah.
“Mwoga masisseoyo?,” Jawab si Bibi yang tak ku mengerti apa artinya.

Di tengah kebingunganku, tiba-tiba seseorang menghampiri kami lalu berkata,
“Naneun lamyeon han geuleuseul jumun halyeomyeon,” katanya memesan ramen dengan kalimat yang fasih.
“Makanya kalau mau pesan belajar dulu bahasa korea yang benar,” lanjutnya dengan nada yang agak meledek.
“Indonesia kah? Ih baru kenal udah ngeledek aja. Tapi ngomong-ngomong, makasih ya! Pas banget gue butuh bantuan soalnya hehe,” kataku dengan agak canggung.
“Baru pindah ya? Oiya salam kenal ya, nama gue Rabbani. panggil aja gue Bani atau apapun terserah lo selama itu baik,”
“Oiya hehe ya gitu deh, baru sebulan yang lalu gue pindah kesini. By the way, nama gue Aya. Lo tinggal di daerah sini juga?,” kataku seraya meniup semangkuk ramen yang panas.
“Enggak sih, agak jauh dari sini. Tapi gue laper, jadi gue keluar cari makanan hangat yang pas. Kebetulan gue liat tempat ramen ini, jadi gue mampir deh,” kata bani.
“Sama dong. Dingin banget soalnya. Lo juga baru pindah?,” Tanyaku.
“Enggak, gue udah hampir setahun di Korea. Karna gue kuliah di Busan Art College, jadi gue harus pindah kesini. Oiya lo mahasiswi baru disini kan pasti? Udah tau Seoul? Jangan ngaku tinggal di Korea kalo gapernah ke Seoul!,” katanya dengan meledek.
“Busan Art College? Sama dong. Taulah, Tp gue belum sempet kesana. Mau banget sih tapi...,”
Ayolah! Besok lusa, gue tunjukkin lo beberapa tempat menarik di Seoul,” katanya dengan semangat bahkan memotong pembicaraanku.
“Hemm...boleh deh hehe. Tapi aman kan?,” tanyaku dengan sedikit curiga,
“Yaelah. Lo masih takut sama gue? Jadi mentang-mentang baru kenal dan gue orang asing, lo jadi curiga sama gue? gausah takut! Gue baik kok, gak mungkin orang setampan gue ini bisa jahat sama cewek,” katanya penuh dengan keyakinan.

      Akhirnya, aku pun menyetujui tawarannya untuk pergi ke Seoul. Walaupun sebenarnya masih ada perasaan canggung dan takut, tapi berusaha ku lawan perasaan itu mengingat bahwa laki-laki yang baru saja ku temui itu telah membantuku tanpa pamrih.

      Sabtu akhirnya menyambut. Alarm bunyi pukul 5. Hari sudah pagi, namun matahari sepertinya sulit untuk menunjukkan dirinya pada semesta, ku lihat dari jendela kamarku dan yang terlihat hanyalah salju yang menutupi jalan. Aku pun terngiang dengan ucapan seseorang dengan bertubuh tinggi dengan punggung besarnya yang melengkapi pesonanya itu. Orang yang baru saja ku temui beberapa jam yang lalu. Aku pun segera menyalahkan handphone-ku, mengingat bahwa semalam aku sempat meminta nomor telefonnya. Dengan cepat jariku menekan nomor yang tertera di kolom panggilan sebelumnya.

“Halo, Bani. Ini gue Aya, hari ini jadi kan?,” tanyaku.
“Halo, eh iya Ya. Jadi kok, siang ini jam 11 ya. Gue tunggu di stasiun kereta. Nanti kita akan naik kereta cepat KTX kesana. Kalau ga ada hambatan mungkin sekitar 2 jam aja kita bakal sampe,” jawabnya dengan meyakinkan.
“Umm...oke oke. Gue siap-siap dulu ya,” sahutku.

      Dengan cepat segera ku akhiri telefon itu dan bersiap-siap untuk pergi ke Seoul. Rasanya waktu terlalu pagi untuk segera pergi ke stasiun kereta api. Waktu pada jam tanganku menunjukkan pukul 09:00. Jarak antar apartemen dan stasiun tidak terlalu jauh, cukup menggunakan taksi atau bus hanya menempuh waktu sekitar 20 menit jika tidak ada hambatan. Dari halte bus, aku pun menaiki bus yang menuju ke arah stasiun. Di sepanjang jalan yang terlihat hanyalah rimbunan pohon yang tertutupi salju serta gedung-gedung industri dan perkantoran. Ya, Busan ialah salah satu kota di Korea yang terkenal akan Industrinya.

      Tiba di stasiun ialah hal yang paling ditunggu. Mengingat sebentar lagi aku akan mendapati diriku sedang berdiri di ibukota Korea Selatan. Dari ujung jalan terlihat lelaki berpenampilan rapi dan berparas tampan sedang berdiri di depan stasiun. Tak kalah dengan personil Boyband Korea, lelaki itu menggunakan mantel serta topi yang apik. Lelaki itu melambaikan tangannya ke arahku seakan memberi kode.

“Hei! Gue disini. Ayo cepat pesan tiket. Kalau enggak nanti telat,” teriaknya dengan suara yang berat.

      Segeralah kami membeli tiket untuk menuju ke Seoul. Di dalam kereta, aku hanya bisa duduk terdiam memandangi sekeliling lorong kereta, 1 gerbong yang dapat dipenuhi sekitar 30 orang lebih ini terlihat tidak terlalu ramai. Bani duduk di sampingku seraya mendengarkan musik pada headphone-nya. Aku yang bosan lebih memilih untuk membaca buku. Udara yang dingin sangat terasa sampai ke dalam kereta. Dalam dinginnya suasana, tiba-tiba suara yang lembut memanggil namaku.

“Gak bawa sarung tangan ya? Sakti banget,” tanya Bani.
“Iya tadi ketinggalan di meja lupa gue ambil. Yee namanya juga orang lupa mana inget sih...,” jawabku dengan nada yang sedikit kesal.
“Yee jangan marah-marah mulu lah. Gue bawa kok, kebetulan gue bawa dua, nih pake sarung tangan gue dulu, cuaca dingin banget. Jangan sok sakti deh,” ledeknya seraya sibuk mengambil sarung tangan dalam tas ranselnya.

      Menit demi menit berlalu, akhirnya sampai juga di tempat yang telah ditunggu-tunggu. Dari stasiun kereta, kami memutuskan untuk naik taksi menuju Seoul Tower untuk sekedar melihat pemandangan Seoul dari dataran yang lebih tinggi.

“Ini yang namanya Seoul ibukota Korea. Puas-puasin deh lo foto trus tunjukin ke temen-temen lo di akun social media. Hahaha,” tukasnya dengan nada yang sedikit angkuh.
“Ih kenapa sih lo tuh nyebelin banget! By the way, thanks ya udah ngajak gue kesini. Gue pengen banget kesini tapi ga ngerti arah jalan dan bahasa korea yang belum fasih. Untung ada elo, hehehe. Makasih banget loh ya!,“ kataku.
“Santai aja kali. Gue pernah di posisi lo ko. Selama gue ada waktu luang, lo bisa minta tolong gue kapanpun itu. Keliling yuk. Percuma jauh-jauh kesini kalo ga keliling menikmati indahnya ibukota Korea,” tukasnya dengan senyuman yang meyakinkan.

      Korea terasa berbeda jika sedang musim salju. Setiap pinggir jalan, terlihat orang-orang menyalahkan lampu lebih awal. Mereka sepertinya menginginkan pemandangan yang lebih hangat. Namun satu hal yang paling berbeda adalah suasana yang ku rasakan. Suasana dingin namun berbeda dari biasanya. Seakan ada yang memeluk punggungku dan memegang tanganku. Entah apa yang ku rasakan ini. Diriku mendapati Bani yang tengah asik menikmati perjalanan di sampingku. Entah apa yang ia fikirkan, sepanjang jalan ia hanya tersenyum dan sesekali memperhatikan orang yang berlalu-lalang.

“Lo mikirin apasih? Senyam-senyum mulu,” tanyaku dengan sedikit heran.
“Enggak. Gue seneng aja akhirnya bisa jalan ke Seoul dan ada bidadari yang nemenin,” jawabnya dengan sedikit gombal.
“Yeee... dasar modus!,” jawabku dengan tersipu malu.

      Sepanjang jalan yang kami lakukan hanyalah bertukar cerita tentang apa yang kami sukai serta membicarakan hal tentang Korea. Sampai pada akhirnya kami merasa lelah setelah berkeliling kota Seoul. Tiba-tiba rasa lapar mendera perutku.

“Laper nih. Seharian jalan masa gak makan sih. Cari makanan kaki lima yuk! Gue pengen banget nyobain makanan kaki lima korea kayak di drama-drama korea ituloh!,” kataku.
“Ayo. Gue tau tempat jajanan enak di sekitar sini,” jawab Bani.

      Sesampainya kami di salah satu restoran kecil di pinggiran ibukota Seoul yang ku fikirkan hanyalah menu apa yang akan kami pilih. Tertera di dalam menu, restoran ini menjual berbagai jenis makanan tradisional korea seperti Ramen, Samgyetang, Bibimbap, Tteokbokki, Odeng, serta makanan khas lainnya. Aku pun memilih Samgyetang, sup ayam hangat yang di dalamnya terdapat gingseng dan dapat menghangatkan tubuh menjadi pilihanku.

“Gue pesen samgyetang satu deh...,” tukasku.
“Hemm... gue sama kayak lo deh,” ucap Bani.
Beberapa menit kemudian, 2 hidangan lezat serta 2 gelas teh hangat ada di depan kami. Selama menyantap makanan kami hanya terdiam. Hanya suasana sunyi yang ada. Tidak seperti saat kami berjalan sebelumnya.

      Seusai makan, kami memutuskan untuk menghabiskan 1 jam terakhir kami dengan melihat Seoul seraya menuju ke arah stasiun untuk pulang dengan menggunakan bus. Jam menunjukkan pukul 04:15 sore. Di dalam bus, aku hanya berfikir tentang semua yang ku lakukan hari ini dengan Bani. Mulai dari awal keberangkatan menuju Seoul sampai sekarang di dalam bus. Tetapi ada sesuatu hal janggal yang baru kusadari sejak awal keberangkatan yaitu adalah sarung tangan. Aku pun teringat akan kata-katanya bahwa ia memiliki 2 sarung tangan untuk cuaca yang sedingin ini. Namun, sejak awal keberangkatan yang ku lihat dia hanya memasukkan tangannya ke sela-sela kantung mantelnya. Apa yang dia lakukan? Bukankah dia memiliki 2 sarung tangan? Mengapa dia tidak memakainya?. Berbagai pertanyaan mendera fikiranku. Sampai pada akhirnya kami sampai di stasiun, Bani langsung memesan tiket untuk pulang ke Busan.

“Dua tiket untuk dua orang..,” Tukasnya kepada salah satu pelayan tiket di stasiun dengan menggunakan bahasa Korea.
      Selama di dalam kereta, ku lihat Bani yang lagi-lagi sibuk dengan headphonenya itu.
“Bani, kenapa lo dari tadi gak pakai sarung tangan lo? Lo bilang kalo lo kan punya dua...,” tanyaku.
Apa yang ku dengar hanyalah suara senandung yang ia keluarkan. Ia tampaknya sangat asik mendengarkan lagu sampai tidak mendengar pertanyaanku. Bunyi kereta yang kian lambat terdengar sangat jelas, menandakan bahwa kami sudah sampai di Busan.
“Yuk, turun, ya,” kata Bani.                              
“Oiya ban, tadi lo denger pertanyaan gue gak?,” tanyaku dengan harapan dia mendengar pertanyaanku.
“Ha? Apaan?,” jawab Bani dengan sedikit keheranan.
“Hemm.. gajadi deh hehe. Yuk cepetan, gue capek mau istirahat abis jalanjalan seharian,” tukasku.

      Sesampainya di rumah, aku langsung menjatuhkan diriku pada sofa. Menghela nafas setelah seharian berpergian dengan orang yg baru saja ku kenal. Wajahku terasa berat setelah seharian berpergian. Aku memutuskan untuk membasuh muka. Lalu aku pun tersadar bahwa aku masih menggunakan sarung tangan pemberian Bani. Segera ku lepas sarung tangan itu, membasuh wajahku dan memutuskan untuk tidur.

      Dua bulan pun berlalu, pagi yang cerah menyambut hariku, terlihat dari dalam jendela kamar matahari mulai menunjukkan dirinya walau hanya sedikit. Udara mulai menghangat daripada sebelumnya walau masih terdapat banyak tumpukan saju di luar sana. Aku hanya bisa duduk terdiam diatas tempat tidurku, seraya merenungkan sesuatu yang bahkan aku pun tak tahu apakah itu. Hari demi hari yang ku lalui terasa sepi. Akhirnya, aku pun lebih memutuskan untuk membaca buku untuk sarapan pagi ini. Ku buka laci meja kamarku untuk mengambil sebuah buku yang ingin ku baca. Namun, seketika aku terkejut dengan apa yang ku temukan.

“Ini kan...sarung tangannya Bani. Oiya Bani, ya ampun! Kok gue bodoh sih. Udah lama banget gak gue kembaliin semenjak terakhir jalan waktu itu!,” tukasku sambil menyalahkan diri sendiri.

      Aku pun memutuskan untuk menghubungi nomor Bani yang ada di kontak handphone-ku. Ku hubungi berkali-kali namun telfon itu selalu tak diangkat oleh pemiliknya. Hari demi hari yang ku fikirkan hanyalah tentang bagaimana caranya mengembalikan sapu tangan ini. Aku hanya bisa duduk terdiam di sofa seraya memikirkan apa yang harus ku lakukan. Ku dapati diriku sedang memegang sarung tangan itu, ku amati secara jelas benda itu, tiba-tiba aku menemukan sesuatu tertera pada sapu tangan itu. Terdapat tulisan “Rabbani Group” pada sarung tangan tersebut. Seketika aku langsung menyalahkan laptop dan segera mencari apa arti dari kata tersebut dalam internet.

      Ternyata “Rabbani Group” adalah salah satu perusahaan asal indonesia yang bergerak dalam bidang industri. Sudah lebih dari setahun , perusahaan tersebut membuka saham di Busan. Aku pun terkejut ternyata selama ini orang yang baru saja ku kenal ialah putra dari pemilik perusahaan tersebut. Aku pun bergegas mencari alamat perusahaan tersebut dan segera mendatanginya hari itu juga. Cuaca yang masih terasa dingin bahkan tidak menghalangiku untuk menemui Bani meskipun hanya untuk sekedar sepasang sarung tangan.

      Sesampainya di perusahaan tersebut, aku pun langsung mencari informasi tentang keberadaan Bani. Setelah berbagai proses ku lalui, mulai dari bertanya kepada petugas yang ada disana sampai perwakilan dari perusahaan ku temui demi sepasang sarung tangan. Akhirnya ku dapatkan informasi tentang Bani. Namun apa yang membuatku terkejut adalah ia sedang dalam perjalanan ke bandara untuk pulang ke Indonesia. Dengan terburu-buru, aku pun segera memberhentikan taksi dan segera pergi bergegas ke bandara sebelum pesawat take off. Hanya tersisa 1 jam waktu yang ku punya untuk menemuinya sebelum dia pergi meninggalkan Korea untuk waktu yang lama.
“Hurry up, please, sir!,” tukasku pada supir taksi dengan panik.

      Di bandara, aku segera berlari tanpa mengenal arah. Mencari sosok pemuda yang sudah lama tak ku temui setelah pertemuan singkat terakhir. Tanpa ku sadari aku mulai mengangis. Entah mengapa aku menangis, bahkan aku tak tahu mengapa aku melakukan hal itu. Bagaikan kehilangan seseorang yang sudah lama ku kenal. Bagiakan perpisahan dengan seseorang yang sangat ku sayangi. Mataku tak berhenti fokus untuk melihat setiap sudut bandara. Berharap masih ada secercah harapan untuk bertemu dengannya.

“Baniiii!,” teriakku seraya menangis bahagia.

      Ku lihat dirinya sedang berdiri dekat ruang tunggu seraya memegang sebuah koper serta tas ransel yang ada digantungkan di pundaknya. Ia langsung melihat ke arahku dengan wajah terkejut dan keheranan.

“Aya..! ngapain kesini?,” Tanyanya dengan terkejut namun suara lembutnya dapat menghilangkan rasa kekhawatiranku selama ini.
“Gue nyariin lo kemana aja taugak! Gue cuma mau ngembaliin sarung tangan yang lo kasih ke gue waktu ke Seoul. Tapi ditengah pencarian, gue sadar bukan hanya karena sarung tangan gue bela-belain kayak gini. Gue kayak gini karna gue sadar kalo gue gamau kehilangan lo!. Setelah gue tau lo mau pulang ke Indonesia, gue langsung buru-buru kesini dan nyari lo ke setiap sudut bandara ini, ban!,” Kataku sambil meneteskan air mata.
“Gue tau kok kalo lo bakal kayak gini, ya. Gue tau apa yang lo tanyain ke gue waktu di kereta dulu. Gue gak sepenuhnya dengerin musik kok. Sarung tangan yang gue kasih itu menjadi tolak ukur dan bukti perasaan lo ke gue. Dari awal gue kenal sama lo sampe sekarang lo kayak gini, gue tau kalo lo itu orang yang tepat buat gue. Awal gue kenal lo, entah kenapa perasaan gue beda. Mungkin ini yang namanya cinta. Pandangan pertama yang membuat gue langsung jatuh hati sama orang lain dan cuma gue rasain sama lo, Aya,” jawabnya dengan nada manis yang menenangkan hati.
“Terus kenapa lo kayak gini? Sekarang lo mau tinggalin gue sendirian?. Musim salju yang bisa membuat kita kayak sekarang dan gue gamau musim salju yang mulai berakhir ini juga mengakhiri kita, Ban. Bahkan gue bingung, kenapa orang kayak lo bisa buat gue kayak gini, bahkan kita baru kenal. Tapi rasa ini muncul seakan gue udah kenal lama sama lo, Bani,”.
“Itu yang namanya cinta yang gak mengenal waktu. Gue juga gak pernah kasih tau kalo gue itu anak seorang pengusaha. Karena gue mau bebas sama lo tanpa mikirin jabatan atau apapun itu. Gue sayang sama lo, Aya. Gue akan berusaha minta Ayah gue untuk mempersingkat waktu di Indonesia dan kembali ke Korea untuk nemenin lo lagi. Pegang sarung tangan gue itu sebagai bukti janji omongan gue ini sama lo,” ucapnya dengan senyuman hangat.
“Gue akan tunggu lo, Ban. Tepatin janji lo sama gue dan sekarang kita udah pacaran ya!,” tukasku dengan bercanda namun masih meneteskan air mata bahagia.
“Oke, Aya. Aku janji. Aku akan kembali kesini dan segera nemuin kamu secepat mungkin...,” Sahut Bani.

      Pertemuan singkat yang tak pernah ku duga telah mengubah hidupku secara singkat. Pandangan pertama bagaikan musim salju yang dingin namun menyimpan sejuta arti. Perkenalan singkat yang mengubah dirinya dari sosok yang asing menjadi sosok yang sangat berarti dalam hidupku. Tak kan pernah ku lupakan kenangan itu. Musim salju pertama yang membawaku kepada dirinya yang mencintaiku tulus apa adanya.