Awal Desember tiba, kaki
masih sibuk menghentak-hentakkan sisa salju yang menempel di sela-sela jari
kaki. Suasana dingin yang mulai terasa, membuat badan enggan menunjukkan
dirinya, membuat kaki enggan melangkah melewati jalan yang mulai tertutup oleh
salju. Suasana hangat yang mengepung seluruh ruang santai membuat diriku enggan
beranjak dari hangatnya sofa yang ku tempati. Aku masih mendapati diriku yang
sibuk mengubah channel TV, rasanya tak ada apapun yang layak untuk dilihat pada
saat cuaca seperti ini. Tiba-tiba perutku menggerutu, ya, suasana dingin memang
paling bisa memaksa perut untuk mengeluh. Akhirnya, aku pun memutuskan untuk
beranjak dari sofa dan bersiap-siap untuk mencari sesuatu yang dapat dimakan
pada saat cuaca yang seperti ini.
Bersiap-siap keluar pada saat cuaca dingin seperti ini
adalah hal yang paling merepotkan. Baju yang berlapis, mantel, serta penutup
telinga ialah hal yang paling sering ku gunakan. Tak lupa untuk memakai
sepasang sepatu boots yang sebulan lalu ku beli di sebuah tempat perbelanjaan di
daerah Gangnam untuk persiapan musim salju pertamaku. Tampaknya tidak terlalu
mengasyikan dari yang ku bayangkan ketika diriku dulu masih di Indonesia.
Kakiku pun mulai melangkah keluar dari zona nyamanku, suasana yang sendiri
semakin terasa dengan mulai menggigilnya tubuhku. Jalanan yang terlihat sepi
memperkuat perasaan itu. Setiap kanan dan kiri jalan hanya terlihat penerangan
lampu penduduk sekitar. Hari ini masih sore, namun mereka sudah menyalakan
lampu lebih awal dari biasanya karna ini musim salju. Aku pun jalan menapaki
salju demi salju yang turun kian banyak. Aku hanya bisa memikirkan hangatnya semangkuk
sup atau gurihnya daging asap yang sebentar lagi akan mendiami perutku yang
sudah tak sabar ini.
Di ujung jalan terlihat sebuah restoran ramen kecil, dari
jauh hanya terlihat cahaya lampunya yang samar-samar. Namun tercium bau yang
sedap. Aku pun bergegas menghampiri tempat itu.
“Annyeonghaseyo,
Ahjumma. i want to order some food,” sapaku dengan ramah.
“Mwoga masisseoyo?,” Jawab
si Bibi yang tak ku mengerti apa artinya.
Di tengah
kebingunganku, tiba-tiba seseorang menghampiri kami lalu berkata,
“Naneun lamyeon han
geuleuseul jumun halyeomyeon,” katanya memesan ramen dengan kalimat yang fasih.
“Makanya
kalau mau pesan belajar dulu bahasa korea yang benar,” lanjutnya dengan nada
yang agak meledek.
“Indonesia
kah? Ih baru kenal udah ngeledek aja. Tapi ngomong-ngomong, makasih ya! Pas
banget gue butuh bantuan soalnya hehe,” kataku dengan agak canggung.
“Baru
pindah ya? Oiya salam kenal ya, nama gue Rabbani. panggil aja gue Bani atau
apapun terserah lo selama itu baik,”
“Oiya
hehe ya gitu deh, baru sebulan yang lalu gue pindah kesini. By the way, nama
gue Aya. Lo tinggal di daerah sini juga?,” kataku seraya meniup semangkuk ramen
yang panas.
“Enggak
sih, agak jauh dari sini. Tapi gue laper, jadi gue keluar cari makanan hangat
yang pas. Kebetulan gue liat tempat ramen ini, jadi gue mampir deh,” kata bani.
“Sama
dong. Dingin banget soalnya. Lo juga baru pindah?,” Tanyaku.
“Enggak,
gue udah hampir setahun di Korea. Karna gue kuliah di Busan Art College, jadi
gue harus pindah kesini. Oiya lo mahasiswi baru disini kan pasti? Udah tau
Seoul? Jangan ngaku tinggal di Korea kalo gapernah ke Seoul!,” katanya dengan
meledek.
“Busan
Art College? Sama dong. Taulah, Tp gue belum sempet kesana. Mau banget sih
tapi...,”
“Ayolah! Besok lusa, gue tunjukkin
lo beberapa tempat menarik di Seoul,” katanya dengan semangat bahkan memotong
pembicaraanku.
“Hemm...boleh deh hehe. Tapi aman
kan?,” tanyaku dengan sedikit curiga,
“Yaelah. Lo masih takut sama gue?
Jadi mentang-mentang baru kenal dan gue orang asing, lo jadi curiga sama gue?
gausah takut! Gue baik kok, gak mungkin orang setampan gue ini bisa jahat sama
cewek,” katanya penuh dengan keyakinan.
Akhirnya,
aku pun menyetujui tawarannya untuk pergi ke Seoul. Walaupun sebenarnya masih
ada perasaan canggung dan takut, tapi berusaha ku lawan perasaan itu mengingat
bahwa laki-laki yang baru saja ku temui itu telah membantuku tanpa pamrih.
Sabtu
akhirnya menyambut. Alarm bunyi pukul 5. Hari sudah pagi, namun matahari
sepertinya sulit untuk menunjukkan dirinya pada semesta, ku lihat dari jendela
kamarku dan yang terlihat hanyalah salju yang menutupi jalan. Aku pun terngiang
dengan ucapan seseorang dengan bertubuh tinggi dengan punggung besarnya yang
melengkapi pesonanya itu. Orang yang baru saja ku temui beberapa jam yang lalu.
Aku pun segera menyalahkan handphone-ku, mengingat bahwa semalam aku sempat
meminta nomor telefonnya. Dengan cepat jariku menekan nomor yang tertera di
kolom panggilan sebelumnya.
“Halo, Bani. Ini gue Aya, hari ini
jadi kan?,” tanyaku.
“Halo, eh iya Ya. Jadi kok, siang
ini jam 11 ya. Gue tunggu di stasiun kereta. Nanti kita akan naik kereta cepat
KTX kesana. Kalau ga ada hambatan mungkin sekitar 2 jam aja kita bakal sampe,”
jawabnya dengan meyakinkan.
“Umm...oke oke. Gue siap-siap
dulu ya,” sahutku.
Dengan
cepat segera ku akhiri telefon itu dan bersiap-siap untuk pergi ke Seoul. Rasanya
waktu terlalu pagi untuk segera pergi ke stasiun kereta api. Waktu pada jam
tanganku menunjukkan pukul 09:00. Jarak antar apartemen dan stasiun tidak
terlalu jauh, cukup menggunakan taksi atau bus hanya menempuh waktu sekitar 20
menit jika tidak ada hambatan. Dari halte bus, aku pun menaiki bus yang menuju
ke arah stasiun. Di sepanjang jalan yang terlihat hanyalah rimbunan pohon yang
tertutupi salju serta gedung-gedung industri dan perkantoran. Ya, Busan ialah
salah satu kota di Korea yang terkenal akan Industrinya.
Tiba
di stasiun ialah hal yang paling ditunggu. Mengingat sebentar lagi aku akan
mendapati diriku sedang berdiri di ibukota Korea Selatan. Dari ujung jalan
terlihat lelaki berpenampilan rapi dan berparas tampan sedang berdiri di depan
stasiun. Tak kalah dengan personil Boyband Korea, lelaki itu menggunakan mantel
serta topi yang apik. Lelaki itu melambaikan tangannya ke arahku seakan memberi
kode.
“Hei! Gue disini. Ayo cepat pesan
tiket. Kalau enggak nanti telat,” teriaknya dengan suara yang berat.
Segeralah
kami membeli tiket untuk menuju ke Seoul. Di dalam kereta, aku hanya bisa duduk
terdiam memandangi sekeliling lorong kereta, 1 gerbong yang dapat dipenuhi
sekitar 30 orang lebih ini terlihat tidak terlalu ramai. Bani duduk di
sampingku seraya mendengarkan musik pada headphone-nya. Aku yang bosan lebih
memilih untuk membaca buku. Udara yang dingin sangat terasa sampai ke dalam
kereta. Dalam dinginnya suasana, tiba-tiba suara yang lembut memanggil namaku.
“Gak bawa sarung tangan ya? Sakti
banget,” tanya Bani.
“Iya tadi ketinggalan di meja
lupa gue ambil. Yee namanya juga orang lupa mana inget sih...,” jawabku dengan
nada yang sedikit kesal.
“Yee jangan marah-marah mulu lah.
Gue bawa kok, kebetulan gue bawa dua, nih pake sarung tangan gue dulu, cuaca
dingin banget. Jangan sok sakti deh,” ledeknya seraya sibuk mengambil sarung
tangan dalam tas ranselnya.
Menit
demi menit berlalu, akhirnya sampai juga di tempat yang telah ditunggu-tunggu.
Dari stasiun kereta, kami memutuskan untuk naik taksi menuju Seoul Tower untuk
sekedar melihat pemandangan Seoul dari dataran yang lebih tinggi.
“Ini yang namanya Seoul ibukota
Korea. Puas-puasin deh lo foto trus tunjukin ke temen-temen lo di akun social
media. Hahaha,” tukasnya dengan nada yang sedikit angkuh.
“Ih kenapa sih lo tuh nyebelin
banget! By the way, thanks ya udah ngajak gue kesini. Gue pengen banget kesini
tapi ga ngerti arah jalan dan bahasa korea yang belum fasih. Untung ada elo,
hehehe. Makasih banget loh ya!,“ kataku.
“Santai aja kali. Gue pernah di
posisi lo ko. Selama gue ada waktu luang, lo bisa minta tolong gue kapanpun
itu. Keliling yuk. Percuma jauh-jauh kesini kalo ga keliling menikmati indahnya
ibukota Korea,” tukasnya dengan senyuman yang meyakinkan.
Korea
terasa berbeda jika sedang musim salju. Setiap pinggir jalan, terlihat
orang-orang menyalahkan lampu lebih awal. Mereka sepertinya menginginkan
pemandangan yang lebih hangat. Namun satu hal yang paling berbeda adalah
suasana yang ku rasakan. Suasana dingin namun berbeda dari biasanya. Seakan ada
yang memeluk punggungku dan memegang tanganku. Entah apa yang ku rasakan ini.
Diriku mendapati Bani yang tengah asik menikmati perjalanan di sampingku. Entah
apa yang ia fikirkan, sepanjang jalan ia hanya tersenyum dan sesekali
memperhatikan orang yang berlalu-lalang.
“Lo mikirin apasih? Senyam-senyum
mulu,” tanyaku dengan sedikit heran.
“Enggak. Gue seneng aja akhirnya
bisa jalan ke Seoul dan ada bidadari yang nemenin,” jawabnya dengan sedikit
gombal.
“Yeee... dasar modus!,” jawabku
dengan tersipu malu.
Sepanjang
jalan yang kami lakukan hanyalah bertukar cerita tentang apa yang kami sukai
serta membicarakan hal tentang Korea. Sampai pada akhirnya kami merasa lelah
setelah berkeliling kota Seoul. Tiba-tiba rasa lapar mendera perutku.
“Ayo. Gue tau tempat jajanan enak
di sekitar sini,” jawab Bani.
Sesampainya
kami di salah satu restoran kecil di pinggiran ibukota Seoul yang ku fikirkan
hanyalah menu apa yang akan kami pilih. Tertera di dalam menu, restoran ini
menjual berbagai jenis makanan tradisional korea seperti Ramen, Samgyetang,
Bibimbap, Tteokbokki, Odeng, serta makanan khas lainnya. Aku pun memilih
Samgyetang, sup ayam hangat yang di dalamnya terdapat gingseng dan dapat
menghangatkan tubuh menjadi pilihanku.
“Gue pesen samgyetang satu
deh...,” tukasku.
“Hemm... gue sama kayak lo deh,”
ucap Bani.
Beberapa menit kemudian, 2
hidangan lezat serta 2 gelas teh hangat ada di depan kami. Selama menyantap
makanan kami hanya terdiam. Hanya suasana sunyi yang ada. Tidak seperti saat
kami berjalan sebelumnya.
Seusai
makan, kami memutuskan untuk menghabiskan 1 jam terakhir kami dengan melihat
Seoul seraya menuju ke arah stasiun untuk pulang dengan menggunakan bus. Jam
menunjukkan pukul 04:15 sore. Di dalam bus, aku hanya berfikir tentang semua
yang ku lakukan hari ini dengan Bani. Mulai dari awal keberangkatan menuju
Seoul sampai sekarang di dalam bus. Tetapi ada sesuatu hal janggal yang baru
kusadari sejak awal keberangkatan yaitu adalah sarung tangan. Aku pun teringat
akan kata-katanya bahwa ia memiliki 2 sarung tangan untuk cuaca yang sedingin
ini. Namun, sejak awal keberangkatan yang ku lihat dia hanya memasukkan
tangannya ke sela-sela kantung mantelnya. Apa yang dia lakukan? Bukankah dia
memiliki 2 sarung tangan? Mengapa dia tidak memakainya?. Berbagai pertanyaan
mendera fikiranku. Sampai pada akhirnya kami sampai di stasiun, Bani langsung
memesan tiket untuk pulang ke Busan.
“Dua tiket untuk dua orang..,” Tukasnya
kepada salah satu pelayan tiket di stasiun dengan menggunakan bahasa Korea.
Selama
di dalam kereta, ku lihat Bani yang lagi-lagi sibuk dengan headphonenya itu.
“Bani, kenapa lo dari tadi gak
pakai sarung tangan lo? Lo bilang kalo lo kan punya dua...,” tanyaku.
Apa yang ku dengar hanyalah suara
senandung yang ia keluarkan. Ia tampaknya sangat asik mendengarkan lagu sampai
tidak mendengar pertanyaanku. Bunyi kereta yang kian lambat terdengar sangat
jelas, menandakan bahwa kami sudah sampai di Busan.
“Yuk, turun, ya,” kata Bani.
“Oiya ban, tadi lo denger
pertanyaan gue gak?,” tanyaku dengan harapan dia mendengar pertanyaanku.
“Ha? Apaan?,” jawab Bani dengan
sedikit keheranan.
“Hemm.. gajadi deh hehe. Yuk
cepetan, gue capek mau istirahat abis jalanjalan seharian,” tukasku.
Sesampainya
di rumah, aku langsung menjatuhkan diriku pada sofa. Menghela nafas setelah
seharian berpergian dengan orang yg baru saja ku kenal. Wajahku terasa berat
setelah seharian berpergian. Aku memutuskan untuk membasuh muka. Lalu aku pun
tersadar bahwa aku masih menggunakan sarung tangan pemberian Bani. Segera ku
lepas sarung tangan itu, membasuh wajahku dan memutuskan untuk tidur.
Dua
bulan pun berlalu, pagi yang cerah menyambut hariku, terlihat dari dalam
jendela kamar matahari mulai menunjukkan dirinya walau hanya sedikit. Udara
mulai menghangat daripada sebelumnya walau masih terdapat banyak tumpukan saju
di luar sana. Aku hanya bisa duduk terdiam diatas tempat tidurku, seraya
merenungkan sesuatu yang bahkan aku pun tak tahu apakah itu. Hari demi hari
yang ku lalui terasa sepi. Akhirnya, aku pun lebih memutuskan untuk membaca
buku untuk sarapan pagi ini. Ku buka laci meja kamarku untuk mengambil sebuah
buku yang ingin ku baca. Namun, seketika aku terkejut dengan apa yang ku
temukan.
“Ini kan...sarung tangannya Bani.
Oiya Bani, ya ampun! Kok gue bodoh sih. Udah lama banget gak gue kembaliin semenjak
terakhir jalan waktu itu!,” tukasku sambil menyalahkan diri sendiri.
Aku
pun memutuskan untuk menghubungi nomor Bani yang ada di kontak handphone-ku. Ku
hubungi berkali-kali namun telfon itu selalu tak diangkat oleh pemiliknya. Hari
demi hari yang ku fikirkan hanyalah tentang bagaimana caranya mengembalikan
sapu tangan ini. Aku hanya bisa duduk terdiam di sofa seraya memikirkan apa
yang harus ku lakukan. Ku dapati diriku sedang memegang sarung tangan itu, ku
amati secara jelas benda itu, tiba-tiba aku menemukan sesuatu tertera pada sapu
tangan itu. Terdapat tulisan “Rabbani Group” pada sarung tangan tersebut.
Seketika aku langsung menyalahkan laptop dan segera mencari apa arti dari kata
tersebut dalam internet.
Ternyata
“Rabbani Group” adalah salah satu perusahaan asal indonesia yang bergerak dalam
bidang industri. Sudah lebih dari setahun , perusahaan tersebut membuka saham
di Busan. Aku pun terkejut ternyata selama ini orang yang baru saja ku kenal
ialah putra dari pemilik perusahaan tersebut. Aku pun bergegas mencari alamat
perusahaan tersebut dan segera mendatanginya hari itu juga. Cuaca yang masih
terasa dingin bahkan tidak menghalangiku untuk menemui Bani meskipun hanya
untuk sekedar sepasang sarung tangan.
Sesampainya
di perusahaan tersebut, aku pun langsung mencari informasi tentang keberadaan
Bani. Setelah berbagai proses ku lalui, mulai dari bertanya kepada petugas yang
ada disana sampai perwakilan dari perusahaan ku temui demi sepasang sarung
tangan. Akhirnya ku dapatkan informasi tentang Bani. Namun apa yang membuatku
terkejut adalah ia sedang dalam perjalanan ke bandara untuk pulang ke
Indonesia. Dengan terburu-buru, aku pun segera memberhentikan taksi dan segera
pergi bergegas ke bandara sebelum pesawat take off. Hanya tersisa 1 jam waktu
yang ku punya untuk menemuinya sebelum dia pergi meninggalkan Korea untuk waktu
yang lama.
“Hurry up, please, sir!,” tukasku
pada supir taksi dengan panik.
Di
bandara, aku segera berlari tanpa mengenal arah. Mencari sosok pemuda yang
sudah lama tak ku temui setelah pertemuan singkat terakhir. Tanpa ku sadari aku
mulai mengangis. Entah mengapa aku menangis, bahkan aku tak tahu mengapa aku
melakukan hal itu. Bagaikan kehilangan seseorang yang sudah lama ku kenal.
Bagiakan perpisahan dengan seseorang yang sangat ku sayangi. Mataku tak
berhenti fokus untuk melihat setiap sudut bandara. Berharap masih ada secercah
harapan untuk bertemu dengannya.
“Baniiii!,” teriakku seraya
menangis bahagia.
Ku
lihat dirinya sedang berdiri dekat ruang tunggu seraya memegang sebuah koper
serta tas ransel yang ada digantungkan di pundaknya. Ia langsung melihat ke
arahku dengan wajah terkejut dan keheranan.
“Aya..! ngapain kesini?,”
Tanyanya dengan terkejut namun suara lembutnya dapat menghilangkan rasa
kekhawatiranku selama ini.
“Gue nyariin lo kemana aja
taugak! Gue cuma mau ngembaliin sarung tangan yang lo kasih ke gue waktu ke
Seoul. Tapi ditengah pencarian, gue sadar bukan hanya karena sarung tangan gue
bela-belain kayak gini. Gue kayak gini karna gue sadar kalo gue gamau
kehilangan lo!. Setelah gue tau lo mau pulang ke Indonesia, gue langsung
buru-buru kesini dan nyari lo ke setiap sudut bandara ini, ban!,” Kataku sambil
meneteskan air mata.
“Gue tau kok kalo lo bakal kayak
gini, ya. Gue tau apa yang lo tanyain ke gue waktu di kereta dulu. Gue gak
sepenuhnya dengerin musik kok. Sarung tangan yang gue kasih itu menjadi tolak
ukur dan bukti perasaan lo ke gue. Dari awal gue kenal sama lo sampe sekarang
lo kayak gini, gue tau kalo lo itu orang yang tepat buat gue. Awal gue kenal
lo, entah kenapa perasaan gue beda. Mungkin ini yang namanya cinta. Pandangan
pertama yang membuat gue langsung jatuh hati sama orang lain dan cuma gue
rasain sama lo, Aya,” jawabnya dengan nada manis yang menenangkan hati.
“Terus kenapa lo kayak gini?
Sekarang lo mau tinggalin gue sendirian?. Musim salju yang bisa membuat kita
kayak sekarang dan gue gamau musim salju yang mulai berakhir ini juga
mengakhiri kita, Ban. Bahkan gue bingung, kenapa orang kayak lo bisa buat gue
kayak gini, bahkan kita baru kenal. Tapi rasa ini muncul seakan gue udah kenal
lama sama lo, Bani,”.
“Itu yang namanya cinta yang gak
mengenal waktu. Gue juga gak pernah kasih tau kalo gue itu anak seorang
pengusaha. Karena gue mau bebas sama lo tanpa mikirin jabatan atau apapun itu.
Gue sayang sama lo, Aya. Gue akan berusaha minta Ayah gue untuk mempersingkat
waktu di Indonesia dan kembali ke Korea untuk nemenin lo lagi. Pegang sarung
tangan gue itu sebagai bukti janji omongan gue ini sama lo,” ucapnya dengan
senyuman hangat.
“Gue akan tunggu lo, Ban. Tepatin
janji lo sama gue dan sekarang kita udah pacaran ya!,” tukasku dengan bercanda
namun masih meneteskan air mata bahagia.
“Oke, Aya. Aku janji. Aku akan
kembali kesini dan segera nemuin kamu secepat mungkin...,” Sahut Bani.
Pertemuan
singkat yang tak pernah ku duga telah mengubah hidupku secara singkat.
Pandangan pertama bagaikan musim salju yang dingin namun menyimpan sejuta arti.
Perkenalan singkat yang mengubah dirinya dari sosok yang asing menjadi sosok
yang sangat berarti dalam hidupku. Tak kan pernah ku lupakan kenangan itu.
Musim salju pertama yang membawaku kepada dirinya yang mencintaiku tulus apa
adanya.